Pages
Tuesday, November 16, 2010
Saturday, October 30, 2010
Merenungkan Kembali Makna Taqwa
Takwa: Suatu kata yang sering disebut dan terdengar dalam kalangan umat Islam, Arti Takwa yakni takut kepada Allah swt yang disertai aktifitas atau mencegah diri dari segala larangan sembari mengerjakan segala perintahnya, bukan takut dengan diam atau bukan mencegah diri dari bertindak. Terkadang berada dalam keadaan takut atau mencegah diri dengan berdiam diri (non-aktif), yakni pergi masuk rumah, duduk dan tanpa melakukan suatu kerja, atau dengan tidak menyetir mobil untuk mencegah diri dari menabrak gunung atau supaya tidak terlempar ke jurang. Mencegah diri dari mendaki gunung, tidak bergerak supaya duri dan semak-belukar tidak menusuki kaki dan paha, apakah demikiankah arti takwa?. Tentunya tidak demikian dan Islam tidak menyarankan kita untuk bersikap demikian, akan tetapi Islam mengatakan hadapi dan gelutilah aktifitas dan kejadian yang terjadi dihadapan dan di ketika itulah hendaknya bertakwa.
Seperti seorang supir yang menyetir mobil namun iapun berjaga-jaga, dan penjagaan diri; seperti inilah yang biasa disebutkan dengan sikap mawas diri dan berhati-hati. Jadi kata mencegah diri untuk keadaan demikian dapat dibenarkan. Hanya saja karena makna Mutaqin diterjemahkan dengan arti orang-orang bertakwa, sedemikian seringnya didengar sehingga akal tidak meresapi kepekaan makna yang semestinya diperlukan. Dari itu, sudah sekian lama memegang arti Takwa sebanding dengan kata takut atau orang yang bertakwa yakni orang yang memiliki rasa takut, namun setelah berfikir dan mengkaji kembali, ternyata makna takwa tidaklah berarti takut yang biasa kita fahami selama ini karena memuat ketidak relevanan dan tanpa memberi spirit ilmiah, yakni sentuhan instrumental musik bahasa hendaknya tidak berat didengar ditelinga dan hendaknya indah sampainya ketelinga supaya mudah memasyarakat. Ini satu rahasia kejelian memilih dan menempatkan bahasa.
Dari itu, hendaknya memahami makna kata Takwa dengan: "Menjaga diri dalam setiap aktifitas atau berhati-hati dalam bergerak", bergeraklah dalam berbagai lapangan namun berhati-hatilah dari berbagai kesalahan, dari terjerembab dan orang lain, dari mengarah pada kesia-siaan dan dari melampaui batas-batas yang sudah ditetapkan untuk manusia, yang jika telah lampaui maka manusia akan tersesat dari jalannya, karena jalan kehidupan ini sangat berbahaya, panjang dan gelap.
Kegelapan dunia ini dapat disaksikan: kekuasaan materialis sekarang ini telah mengepulkan debu tebal di permukaan dunia, sinyal-sinyal telekomunikasi mereka lancarkan, arahan-arahan kehendak mereka lakukan dan berapa banyak manusia telah kehilangan jejak dari jalannya, jadi sudah semestinya hendaknya berhati-hati!.
Betapa di dunia sekarang ini, kehendak dan niat perjalanan para tiran dunia telah mendapat tempat di hati sebagian besar penduduk dunia, seperti apa yang mereka katakan: "Pemikiran umum Barat mengatakan demikian", maka demikianlah yang mereka usahakan sehingga pola pemikiran umum Barat menjadi sebuah pernyataan yang seakan-akan menjadi satu hakekat, untuk apa ini sebenarnya?, Mereka menginginkan supaya kepercayaan-kepercayaan manusia ditarik kearah Barat. Patut disayangkan, kepercayaan orang banyak telah berhasil mereka pengaruhi dan inilah sikap elastis manusia yang juga memiliki kecenderungan untuk menerima kesesatan dari jalan kehidupan yang hakiki, yang jika sedikit saja mereka kehilangan kesadarannya maka dengan cepat mereka akan tersesat (dari jalan hakiki), dari itu maka ditengah perjalanan (duniawi) ini dibutuhkan Takwa.
Jika seseorang tidak memiliki Takwa dan demikian saja (berjalan dengan) menutup mata, tanpa memperhatikan dengan penuh kesadaran melakukan aktifitasnya dan bertindak, apakah Quran dapat memberi hidayat kepadanya? Tentu tidak, tiada satu kata kebenaranpun dapat menghidayati manusia seperti ini!.
Seorang yang tidak menyiapkan telinga hatinya untuk mendengarkan, maka tiada perkataan hakikat yang dapat ia percaya, sedang ia hanya mabuk kepayang dalam kendali pilihan syahwatnya saja atau hanya dengan syahwat orang lain ia bergerak, maka Quran tidak akan memberi hidayat kepada orang semacam ini.
Betul, memang Al-Quran memanggil mereka juga untuk dapat menerimanya sebagai pemberi hidayat, namun panggilan Quran ini tiada dirasakan dengan peka oleh telinga mereka, keadaan mereka yang seperti ini disebutkan oleh Al-Quran sendiri ddengan satu ibaratnya: "Mereka itu bagai dipanggil dari tempat yang jauh" (Qs Fusilat/44) – Dan ayat demikian mengisyaratkan kepada orang yang seperti ini, kepada mereka diperdengarkan seruan dari jarak yang jauh.
Kadang-kadang ketika mendengar satu lagu dari tempat yang jauh, seperti seseorang mendendangkan satu lagu yang sangat indah dengan liku-liku irama yang sangat harmonis dan syahdu, tetapi katakanlah dari kejauhan satu kilo meter suaranya sampai ke telinga, maka apa yang dapat difahami dari kata demi kata yang dilantunkannya? Tentunya pertama ia tidak dapat dimaklumi, karena ucapan kata-kata tidak terdengar dengan baik, hanya desingan suara yang terdengar, kedua, irama indah yang digunakannyapun tidak dapat dirasakan dan tidak dapat difahami kelembutan dan kesyahduannya.
Persis seperti sebuah lukisan yang berbentuk garis panjang yang digores dipermukaan tembok yang dilihat dari kejauhan, ia akan terlihat hanya sebagai satu garis kosong saja, tetapi ketika Anda mendekatinya ternyata memiliki ukiran indah yang menunjukan ketinggian karya seni yang digunakan keatasnya yang tidak dapat dilihat dari jarak yang jauh, demikian macam orang-orang ini, dimana Al-Quran mengatakan bahwa mereka seperti memperdengarkan panggilannya dari kejauhan sehingga mereka tidak dapat mendengarkanya dengan baik.
Jadi hendaknya mawas diri supaya dapat terhidayati, inilah makna singkat dari "Hudan-lil-Muttaqiin".
Tingkatan Taqwa Kepada ALLAH Swt
Apa pendapat teman-teman tentang taqwa? Sudahkah kita benar2 paham akan arti taqwa itu sendiri? Apakah benar pemahaman kita selama ini?
Sebelum saya menguraikan tentang bahagian dari taqwa, mari kita ketahui sedikit tentang disiplin yang selama ini masih tak terjangkau dengan pemahaman kita sendiri.
Disiplin dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah latihan batin dan watak agar mentaati tatatertib; kepatuhan pada aturan.
Jelas bukan?. Lantas, apa buah dari disiplin kepada Allah? Buah disiplin pada Allah adalah Taqwa. Mengapa? Mari perhatikan sejenak!.
Kita sering mendengar pengertian taqwa, yang biasa diartikan oleh beberapa orang; "Takut kepada Allah dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya."
Tahukah kita, penjelasan di atas benar adanya!. Hanya saja, pengertian taqwa di atas terlalu general dan menurut saya pribadi terlalu sempit untuk bisa dipahami oleh kalangan sebagian orang, sehingga kita akan mengalami dangkalnya pemahaman yang berakibat pada kualitas taqwa itu sendiri. Kita harus mengetahui bahwa penejelasan di atas hanyalah bagian awal untuk mencapai kesempurnaan disiplin sebelum benar-benar kita meraih ketaqwaan tersebut. Untuk itu, selayaknya kita mengetahui unsur-unsur taqwa serta meluruskan pemahaman yang selama ini tak banyak diketahui oleh orang. Mengapa? Agar kita dapat melangkah pada tingkat taqwa. Harus ya? Tentu!. Nah, sekarang apa unsur-unsur taqwa itu? Taqwa dibagi kedalam empat unsur:
1. الخَوْفُ مِنَ الجَلِيْلِ
Takut kepada Allah, dalam artian kita menanamkan rasa bahwa Allah itu mutlak adanya, Esa, dimana gerak kita selalu terlihat oleh-Nya. Taqwa jenis ini merupakan tingkatan awal, dalam hal ini Allah berfirman sebagaimana dalam.
وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَآئِزُونَ
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. 24:52)
يَآأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَىْءٌ عَظِيمٌ {1}يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَاهُم بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللهِ شَدِيدٌ {2}
"Hai manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah segala kandungan wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras. (QS. 22:1-2)"
Sekarang, sudah mulai jelas bukan? Jika kita mendasarkan pemahaman hanya pada tingkat ini saja, kapan kita akan merasakan ladzatul iman (nikmatnya iman)? Kapan kita akan mengarahkan taqwa dengan benar? Jika yang kita ketahui hanya satu "takut pada Allah". Sedangkan takut pada Allah itu sendiri ada prosesnya.
وَعِزَّتِي لاَ أَجمَعُ عَلَى عَبْدِي خَوْفَيْنِ وَأَمْنَيْنِ إِذَا خَافَنِي فِي الدُّنيَا أَمَنْتَهُ يَومَ القِيَامَةِ وَإِذَا أَمَنَنِي فِي الدُّنْيَا أَخَفْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ.
"Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan dua rasa takut dan dua rasa aman pada seorang hamba. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa aman di akhirat. Dan jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa takut di akhirat.
2. العَمَلُ بالتَّنـزِيلِ
Setelah kita melaui proses pertama, barulah kita beranjak pada tahapan yang kedua yaitu menjalankan perintah al-Qur`an dan menjauhi apa yang jelas-jelas di larang dalam kitab-Nya. Al-Qur`an surat al-Isra: 9 menjelaskan:
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
"Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar."
مَنْ قَرَأَ لقُرْآنَ وَعَمِلَ بِهِ اَلبَسَ اللهُ وَالِدَيْهِ تَاجًا يَوْمَ القِيَامَةِ ضَوْؤُهُ أَحْسَنَ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ الدُّنْيَا لَوْكَانَتْ فِيْهِ. فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ بِهِ.
"Barang siapa membaca al-Qur`an dan mengamalkannya, pada hari kiamat kelak kelak Allah akan memakaikan mahkota pada kedua orang tuanya, yang gemerlapan (sinarnya) lebih baik daripda sinar matahari dalam salah satu rumah dunia, sekiranya sinar itu di dalamnya. Lantas bagaimana dugaan kalian mengenai orang yang mengamalkannya sendiri."
وَمَنْ يُعَظِّمُ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى القُلُوْبِ
"Demikianlah (perintah Allah), barang siapa mengagungkan syair-syair Allah (lambang-lambang-Nya), sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al-Hajj:32)"
مَنْ قَرَأَ القُرآنَ فَاسْتَظْهَرَهُ فَأَحَلَّ حَلاَلَهُ وَحَرَّمَ حَرَامَهُ اَدخَلَهُ الجَنَّةَ وَشَفَعَّهُ فِي عَشْرَةِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ كُلُّهُمْ قَدْ وَجَبَتْ لَهُمُ النَّارُ.
"Barang siapa membaca al-Qur`an dan menguasainya (benar-benar memahami maknanya), kemudian ia menghalalkan yang dihalalkan oleh al-Qur`an dan mengharamkan yang diharamkannya, kelak al-Qur`an akan memasukkannya ke dalam surga dan mengizinkan ia memberi syafaat kepada sepuluh orang keluargannya (semuanya) yang telah diharuskan masuk neraka. (HR. Tirmidzi)
3. الإِسْتِعْدَادَ لِيَوْمِ الآخِيْرِ
Tingkatan ketiga yaitu mempersiapkan untuk hari Akhir. Tahapan taqwa ini merupakan tolak ukur dimana kita melakukan semua aktifitas di dunia ini dalam rangka mempersiapkan diri untuk bertemu dengan-Nya. Membuktikan ketaqwaan kita secara tepat untuk melangkah pada fase kehidupan ke-3 dan seterusnya (alam barzah dan akhirat)
مَا مِنكُم مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ اللهُ، لَيسَ بَينَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ، فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ، وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَارِ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَالتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ.
"Tidak seorangpun di antara kalian kecuail diajak bicara oleh Allah tanpa penerjemah. Kemudian ia menoleh ke kanan, maka ia tidak melihat sesuatu melainkan apa yang pernah dilakukannya (di dunia). Ia pun menoleh ke kiri, maka ia tidak melhat sesuatu melainkan apa yang pernah dilakukannya (di dunia). Lalu ia menoleh ke depan, maka ia tidak melhat sesuatu melainkan neraka di depan wajahnya. Karena itu, jagalah diri kalian dari neraka meki dengan sebutir kurma. "
4. وَالقَنَاعَةُ
بِالقَلِيْلِ
Tahapan terakhir, setelah kita melakukan proses taqwa di atas, kita harus menyertakan rasa rela. Rela di sini dalam artian kita sepenuhnya ridha (ikhlas) dengan ketetapan Allah yang digariskan kepada kita baik lahir maupun batin, rela pada kuantitas bentuk materi yang sedikit.
مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى الإِخْلاَصِ لِلهِ وَحدَهُ وَلاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَقَامَ الصَّلاَةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، فَارَقَهَا وَاللهُ عَنْهُ رَاضٍ.
Barang siapa meninggalkan dunia (wafat) dengan membawa keikhlasan karena Allah swt. saja,
ia tidak menyekutukan Allah sedikitpun, ia melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka ia telah meninggalkan dunia ini dengan membawa ridha.
Bersyukur juga harus kita perhatikan, mengapa? Karena begitu sedikit manusia yang bersyukur, banyak dari mereka menganggap syukur hanya dengan kalimat al-hamdulillah namun tak banyak dari mereka mengetahui cara bersyukur.
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (QS. 34:13)
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. 29:69)
Seperti itulah tahapan bertaqwa kepada Allah. Seperti itu pula konsep taqwa, yang bila salah satu dari keempatya hilang, maka berkuranglah ketaqwaan itu. Oleh sebab itu, surat al-Baqarah: 41 وإيي فالتقون yang artinya "maka hanya kepada-Ku kamu harus bertakwa". Pertanyaannya; taqwa yang bagaimana? Dan di tingkat mana ketaqwaan itu tertanam?
يَأَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan ketaqwaan sebenar-benarnya. (Al-Imran: 102)
َوسَيُجَنَّبُهَا الأَتْقَى
Dan ia (neraka) dijauhkan dari orang-orang yang bertaqwa.
Imam Ghazali dalam kitab Minhajul `Abidin berkata:
لاَيَتْبَعُ المَرْءَ إِلَى قَبْرِهِ * غُيْرُ التُّقَََى وَالعَمَلِ الصَّالِحِ
Tidak ada satupun yang mengkuti seseorang ke dalam kuburnya selain ketaqwaan dan amal shaleh
Terakhir, saya menyadari goresan kecil ini, masih banyak kekurangan dan masih mungkin dijumpai kesalahan. Oleh sebab itu,.
إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ اْلإِصْلاَحَ مَااسْتَطَعْتُ وَمَاتَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
"Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali".
(QS. al-Hud: 88)
Taqwa, Bekal Kesuksesan
Bekal inilah sesungguhnya yang paling utama dan harus selalu kita bawa. Karena Taqwa adalah sebaik-baik mengantarkan kita untuk mewujudkan kecerdasan, kesuksesan, kekayaan, dan kebijaksanaan
Taqwa, yang memiliki makna harfiah sebagai benteng, pelindung dan pemelihara, akan memberikan mercusuar yang terang benderang, saat kita mulai berniat untuk bergerak, melakukan aksi atau tindakan, akan mendorong kita untuk berani melangkah terus ke depan.
Taqwa adalah bekal utama yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Taqwa mampu untuk membuat kita tetap survive dan bertahan saat menjalankan misi kita. Tidak dapat tergoyahkan oleh halangan apapun, bahkan oleh ancaman kematian sekalipun.
Manakala taqwa itu telah kita bawa, kita hanya berfokus pada satu proses untuk mewujudkan tujuan mulia yang kita inginkan. Jika kematian bukan berarti apa-apa, apakah lagi yang akan sanggup menghalangi kita untuk meraihnya?
Sahabatku…
Kadang sesekali kita memang harus break sebentar untuk sekedar menghilangkan kepenatan dalam perjalanan menggapai tujuan, kemudian berpacu kembali melanjutkan perjalanan itu.
Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Dan berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al Baqarah:197)
Ayat ini berkenaan dengan ritual penyelenggaraan haji dan umroh yang merupakan ibadah yang menggabungkan antara kekuatan harta, fisik, dan hati. Ayat ini turun disebabkan karena adanya sekelompok jamaah haji dari Yaman yang pergi tanpa bekal. Sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحُجُّونَ وَلاَ يَتَزَوَّدُونَ وَيَقُولُونَ نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ ، فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى )
Artinya: Dari Ibnu Abbas radliallahu anhuma, berkata: "dahulu penduduk Yaman berhaji tanpa membawa bekal, dan mereka mengatakan kami adalah orang-orang yang bertawakal, maka ketika mereka sampai di Mekah mereka meminta-minta manusia. Maka Allah ta'ala menurunkan ayat (…sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa) (Hr. Bukhari no. 1523, Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah dari Amr, dari Ikrimah secara Mursal / Tuhfah 6166)
Ketaqwaan yang kuat membaja di dada akan mampu menghilangkan halangan dan rintangan yang kita temui di jalan.
Perjalanan untuk sukses kadang menurun kadang mendaki, kadang kita bertemu dengan onak dan duri, Saat itu seharusnya lebih siap untuk menghadapi semua halangan dan rintangan.
Halangan itu seringkali membuat kita berhenti, seakan menabrak tembok tebal, yang benturannya membuat tubuh kita memar. Atau jika tidak melukai kita secara fisik, akan melukai kita secara psikis dan emosi kita, dan itu akan membuat luka yang sangat sulit kita lupakan.
Pada kenyataannya sungguh sangat banyak orang-orang yang akan melemahkan impian kita, membelokkan tujuan kita, mencibir, menghina, menghalang-halangi bahkan membelenggu kita untuk terus melangkah. Orang-orang itu terkadan bukan orang lain, bahkan orang-orang yang terdekat dengan kita.
Saat kita telah memulai melangkah, selalu ada yang berkata, "Buat apalah bersusah payah melakukan hal-hal besar, engkau akan kepayahan", Sudahlah berhenti saja, fisiknya terlalu lemah untuk melakukan hal itu." Berhenti sajalahlah, toh tidak ada seorangpun yang memperhatikan upayamu. Dan seribu kata-kata yang merusak energi Anda.
Ketaqwaan harus ada di dada orang yang menginginkan kecerdasan, kesuksesan, kekayaan, dan kebijaksanaan
Taqwa membantu kita untuk menjadi balancer atau penyeimbang manakala ia berhasil atau gagal.
Jika ternyata kita berhasil mencapainya, tidak akan takabur, atau lupa diri, kita yakin bahwa capaian itu tidak hanya upaya yang telah kita lakukan, tapi ada campur tangan Allah dalam setiap hal dalam proses itu.
Jika ternyata kita gagal, kita tahu bahwa itu adalah bagian dari ujian yang harus ia hadapi, bagian dari proses pembelajaran yang kadang harus kita bayar dengan harga yang mahal. Saat itu, kita harus sabar mencari jawabnya agar berhasil pada akhirnya. Wallahu a'lam bish shawaab.
Tuesday, October 19, 2010
- Menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
- Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
- Menurut Prof. Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.
- Menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.
- Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
- Sedangakn menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan Pancasila adalah :
- Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
- Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang yang dibimbingnya.
- Tut Wuri Handayani : Pemimpin harus mampu mendorong orang – orang yang diasuhnya berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.